SCROOL UNTUK MELANJUTKAN
Internasional

Erdogan Kembali Berkuasa di Turki: Stabilitas Politik atau Ancaman Terhadap Kebebasan dan Ekonomi

Maryono
×

Erdogan Kembali Berkuasa di Turki: Stabilitas Politik atau Ancaman Terhadap Kebebasan dan Ekonomi

Share this article
Erdogan Kembali Berkuasa di Turki: Stabilitas Politik atau Ancaman Terhadap Kebebasan dan Ekonomi

ABOUTJATIM.COM – Recep Tayyip Erdogan berhasil mengamankan kemenangan dalam Pemilu Turki, tanpa adanya kejutan besar.

Seiring dengan itu, rakyat Turki diperkirakan akan melanjutkan kehidupan sehari-hari mereka seperti biasa, tanpa banyak perubahan yang signifikan.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN

Hal ini disebabkan mayoritas penduduk Turki cenderung lebih memilih stabilitas politik yang dihadirkan oleh pemimpin otoriter seperti Erdogan.

Mereka menginginkan keberadaan pemimpin yang dapat menjamin keamanan dan pertahanan yang kuat bagi negara mereka.

Namun, meskipun rakyat Turki mendukung pemerintahan Erdogan, mereka juga harus menghadapi sejumlah konsekuensi negatif.

Hal ini bukanlah hal baru, karena selama 20 tahun terakhir mereka telah mengalami berbagai dampak negatif yang dihasilkan dari pemerintahan Erdogan.

Berikut adalah tiga konsekuensi negatif yang akan dihadapi oleh rakyat Turki selama lima tahun ke depan dengan kembalinya Erdogan berkuasa.

Pertama, rakyat Turki akan terus menghadapi penindasan. Pemimpin otoriter cenderung menciptakan tren penindasan terhadap rakyatnya, dan hal ini telah menjadi hal yang umum terjadi selama 20 tahun pemerintahan Erdogan. Dalam lima tahun mendatang, penindasan ini diperkirakan akan terus berlanjut.

Seorang peneliti di think tank Chatham House, Galip Dalay, mengungkapkan, “Bagi rakyat Turki, perpanjangan masa jabatan Erdogan berarti ‘kelanjutan hari ini’.” Sejak Erdogan pertama kali berkuasa sebagai Perdana Menteri pada tahun 2003, Turki telah mengalami kemunduran menuju otoritarianisme. Erdogan telah mengkonsolidasikan kekuasaannya melalui perubahan konstitusi, melemahkan institusi demokrasi termasuk sistem peradilan dan media.

Bahkan, dia telah memenjarakan para politikus oposisi dan kritikusnya.

Institut V-Dem Swedia mengklasifikasikan Turki sebagai salah satu dari 10 negara otoriter teratas di dunia berdasarkan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Erdogan.

Pada tahun 2018, Freedom House menurunkan status Turki dari “sebagian bebas” menjadi “tidak bebas” selama pemerintahan Erdogan.

Dengan berkuasanya Erdogan selama lima tahun ke depan, kemungkinan kecil bagi dirinya untuk mengubah agenda domestiknya.

Jika ada perubahan, kemungkinan besar dia akan melangkah lebih jauh dalam meningkatkan tindakan represif.

“Ketika para pemimpin otoriter menghadapi ketidakstabilan dalam konteks domestik, mereka cenderung meningkatkan tindakan represif,” kata Gonul Tol, penulis buku “Erdogan War: A Strongman’s Struggle at Home and in Syria,” seperti yang dikutip dari TIME.

Konsekuensi negatif kedua adalah kelanjutan krisis ekonomi. Erdogan telah berjanji akan mengangkat Turki pada tahun 2023, yang merupakan peringatan 100 tahun berdirinya republik.

Turki seharusnya menjadi salah satu dari sepuluh ekonomi terbesar di dunia pada saat itu. Namun kenyataannya, Turki hanya berada di peringkat ke-19.

“Mengalami penurunan signifikan dalam tiga tahun terakhir. Nilai lira Turki merosot, mengarah ke ekonomi yang bergantung pada dolar,” kata Mehmet Ozalp, seorang pakar kajian Islam dari Universitas Charles Sturt, seperti yang dilansir oleh The Conversation.

Bank Sentral Turki telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga kestabilan ekonomi dengan menggunakan cadangan devisa dalam beberapa bulan terakhir.

Namun, bank sentral mengalami defisit neraca berjalan sebesar 8-10 miliar dolar AS setiap bulan.

Cadangan devisa bahkan mencapai angka negatif untuk pertama kalinya sejak tahun 2002.

Apa konsekuensi buruknya? “Erdogan harus mencari utang,” ujar Ozalp. Erdogan akan mencari pinjaman dari luar negeri dengan bunga tinggi dan menggali diplomasi dengan negara-negara kaya minyak di dunia Muslim untuk menarik investasi ke Turki.

“Ketidakpastian mengenai sejauh mana kebijakan utang ini akan berhasil dan kemungkinan manfaat jangka pendeknya dapat membuat ekonomi Turki terjerumus ke dalam resesi,” ungkapnya.

Bagi rakyat Turki, seperti yang diungkapkan oleh Ozalp, ini dapat berarti tingkat pengangguran yang tinggi dan penurunan daya beli.

Tingkat inflasi di Turki telah mencapai angka tertinggi dalam 24 tahun terakhir, yaitu sebesar 85,5% pada tahun 2022.

“Pada tahun 2023, inflasi bisa saja semakin tinggi karena pemerintah yang kekurangan uang terus mencetak uang digital untuk membayar birokrasi yang besar,” tambah Ozalp.

Konsekuensi negatif ketiga adalah perpecahan masyarakat. Mengapa sebagian besar pemilih masih tetap mendukung Erdogan meskipun adanya krisis ekonomi dan respons lambat pemerintah terhadap bencana gempa bumi pada bulan Februari yang menewaskan lebih dari 50.000 orang?

Profesor Soli Ozel, seorang pakar hubungan internasional di Universitas Kadir Has Istanbul, menyatakan, “Saya pikir Erdogan adalah politisi hebat. Erdogan juga memiliki daya tarik yang kuat. Anda tidak dapat mengabaikannya. Dia memancarkan kekuatan. Hal ini merupakan hal yang tidak dimiliki oleh pemimpin oposisi seperti Kemal Kilicdaroglu.”

***

Dapatkan berita terbaru dari About Jatim di: